Menurut salah satu situs Budha , asal mula perpatungan Buddha yang ada saat ini merupakan perkembangan dari bentuk seni Buddha-Yunani yang berkembang beberapa abad yang lalu. Patung Buddha yang ada pada saat ini sering disalah-artikan dan disalahgunakan sebagai objek untuk meminta ampun, meminta pertolongan maupun konsultasi masalah hidup. Yang lebih parah lagi, patung-patung tersebut dianggap sebagai suatu personal yang hidup hingga terdapat begitu banyak pantangan agar tidak menyentuh patung Buddha sebelum mencuci tangan, membersihkan patung Buddha dengan berbagai macam kembang, hingga yang paling buruk, menganggap didalam patung Buddha tersebut terdapat Buddha-nya.
Hal tersebut justru dapat memperburuk citra Buddhis. Patung-patung tersebut
hanya sebatas objek pengingat, perwakilan Buddha dan simbol keteladanan agar
kita selalu ingat "Oh, begini toh rupa Buddha".
Susah dibayangkan bagaimana para seniman patung jaman dahulu, secara bersama-sama
menyelesaikan patung Budha terbesar dengan tinggi 58 meter yang di pahat pada dinding tebing terjal seperti Budha
Bamiyan di Afganistan atau proses pembuatan Buddha Giant Leshan, China. Susah juga dibayangkan bagaimana
seorang kepala seniman sebuah mega proyek pembangunan patung raksasa,
menyatukan ide ratusan pemahat tradisional untuk membentuk sebuah patung sesuai dengan ide yang
ada dipikirannya. Namun semua itu tidak akan begitu mengherankan jika itu di
buat pada jaman mesin dan computer seperti saat ini kan?
OK,..dari pada pusing memikirkan bagaimana mereka membangun patung maha
Budha saat itu, mengenai teknik dan juga segala tetek bengeknya, saya akan menceritakan
dengan gaya cerita saya bagaimana seniman patung Budha di Bali Indonesia,
menciptakan karya-karya patung kayu Budha mereka.
Tahap pertama pengumpulan bahan (kayu). Paling umum yang dipergunakan adalah kayu Suar, atau juga orang menyebutnya kayu Trembesi atau yang lebih keren ”Samanea saman”. Saat ini kebutuhan kayu Suar sebagai material pembuatan patung didatangkan dari luar pulau Bali (Java), yang harganya untuk satu truk kayu suar (kurang lebih 2 -3 kubik) sudah berkisar 7 sampai 8 juta rupiah, itu pun bahan kayu hasil potongan pada cabang alias bukan bagian dari batang utama pohon. Batang utama pohon biasanya dimanfaatkan oleh pengrajin furniture untuk pembuatan meja berukuran super besar (solid wood).
Tahap kedua, membuat ”Bakalan” atau membuat bentuk dasar patung. Tahap ini sebenarnya kelihatan sangat gampang tapi sebenarnya tahap inilah yang paliang menentukan bentuk dan proporsi akhir dari sebuah patung . Pada tahap ini biasanya dikerjakan oleh seorang yang sudah sangat profesional dan mengerti anatomi, karena bentuk dan proporsi keseluruhan tubuh patung akan terbentuk pada tahap ini. Alat yang dipergunakan secara tradisional berupak kampak namun saat ini telah mempergunakan ”sensor” atau gergaji kayu/pohon bertenaga mesin. Khusus tahap ini tidak semua pemahat mampu melakukannya, hanya profesional biasanya yang melakukan tugas ini. Lucunya dari pengamatan dan pengalaman ”searching” penulis, banyak terjadi bahwa anatomi patung yang dihasilkan seorang seniman patung cenderung mengikuti proporsi tubuh pemahatnya, semisal pemahatnya pendek dan gemuk, hasil karyanya juga cenderung pendek dan gemuk-gemuk. Untuk test kasus saja,..kalau anda jalan-jalan keBali dan melihat patung yang bentuknya gemuk, bisa anda tanya siapa yang membuatnya, kemungkinan besar pemahatnya tidak berbadan kurus kering :-)
Tahap ketiga, detail pembentukan. Pada tahap ini sudah semakin banyak
seniaman patung yang mampu melakukannya, namun demikian karakter wajah Budha
malah terbentuk disini. Seperti yang selalu tertulis dalam order ”SAMNOK” (nama toko di German yang mengunakan jasa
penulis), ”Budha dengan wajah manis dan tersenyum sedikit”. Sering
terjadi pelanggan harus rela
menunggu pesanan lebih lama karena menghendaki wajah Budha yang spesifik dari hasil
karya seniman tertentu.
Tahap keempat dan yang terakhir adalah finishing yang terdiri dari dua tahap yaitu penghalusan (sending) dan coating (lapisan pelindung) dan/atau coloring (pewarnaan). Di Bali tahap sending ini biasa dikerjakan oleh ibu-ibu rumah tangga sebagai tambahan penghasilan tatkala tidak ada pekerjaan disawah, namun demikian tahap ini sangat menentukan hasil akhir, karena kalau tidak hati-hati dapat terjadi kesalahan pada waktu penghalusan sehingga melunturkan atau bahkan menghilangkan detail ukiran.
Umumnya hasil akhir produksi patung Budha kayu di Bali tidak berwarna (warna alami atau natural), namun kebutuhan pembeli dan persaingan antar pengrajin membangkitkan inovasi dan ide-ide baru para pengrajin untuk menghasilkan karya-karya yang berbeda, termasuk pewarnaan pada patung seperti patung Budha diatas. (AryBali)